Islam dan Filsafat Khudi: Tinjauan Epistemologi Islam dalam Pemikiran Muhammad Iqbal

Avatar photo

- Jurnalis

Senin, 14 Oktober 2024 - 16:42 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Muhammad Iqbal: sosok penyair, filsuf,serta sosok pembaharu Islam. (Alif.id/Teliti)

Muhammad Iqbal: sosok penyair, filsuf,serta sosok pembaharu Islam. (Alif.id/Teliti)

Filsafat Khudi

Muhammad Iqbal merupakan sosok penyair, filsuf,serta sosok pembaharu Islam. Iqbal lahir di Sialkot, Punjab (saat ini menjadi bagian Pakistan) pada 9 November 1877 M. Salah satu pemikiran Iqbal yang cukup terkenal adalah tentang filsafat khudi yang nanti berpengaruh terhadap pemikirannya yang lain seperti mempengaruhi pemikirannya tentang dinamisme Islam. Adapun Khudi secara harfiah berarti ego atau individualitas yang dipahami sebagai upaya mengungkapkan diri. Individu, ego dan pribadi atau khudi merupakan aspek terpenting dalam filsafat Iqbal, sehingga filsafat khudi seringkalu juga disebut filsafat ego.

Konsep tentang ego tersebut yang nanti menjadi landasan dari struktur pemikiran Muhammad Iqbal. Khudi, menurut Iqbal merupakan sebuah prinsip kesatuan yang mengatur bukan sebuah arus yang tak terbentuk. Manusia memiliki sekumpulan kekuatan dalam menyusun perintah dan dorongan, salah satunya adalah ego. Ia memahaminya sebagai suatu realitas yang nyata dan menjadi fondasi dari seluruh unsur kehidupan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Ego merupakan sesuatu yang dinamis, ia mampu menggorganisir dirinya sesuai waktu dan mampu mendisiplinkan pengalaman-pengalaman yang dimiliki. Ego dipahami oleh Iqbal sebagai semua jalinan masa lalu dan ingatan, ia juga merupakan esensi watak seseorang dan yang menghubungkannya dengan Tuhan. Hal itu karena ego bergerak sesuai perintah Ilahi, sehingga kebebeasan manusia atau realitas eksistensi manusia adalah terletak pada unsur keterpimpinan egonya oleh Tuhan.

Sedangkan Tuhan merupakan ego mutlak (khuda) yang menurutnya, semakin kehendak-dan perbuatannya melemahkan egonya, maka semakin jauh pula ego diirinya dengan ego mutlak. Sebaliknya, semakin dekat seseorang dengan Tuhan, maka egonya semakin kuat. Demikian karena ego yang sifatnya dinamis dapat dipengaruhi oleh faktir dari luar atau factor lingkungan yang membentuk dan terinternalisasi dalam dirinya.

Filsafat ego Muhammad Iqbal berbeda dengan pemahaman ego yang dipaparkan oleh Descartes karena ego yang dimaksud oleh Iqbal tidak sekadar dipahami sebagai kegiatan berpikir, melainkan sebagai sebuah tindakan, harapan atau keinginan. Ego tersebut yang kemudian merefleksikan gerak pada manusia yang terbentuk dari tindakan-tindakan dan pembiasaan pada ego.

Sebagai seorang manusia yang merupakan bagian dari masyarakat harus selalu progresif sehingga mampu mampu untuk terus bergerak menuju kemajuan dan memperbaiki peradaban yang dalam pemahaman Iqbal masih cenderung jumud atau kaku.  Oleh sebab itu, manusia sendiri yang mampu mengendalikan dan mengatur kegiatannya agar dekat dengan Tuhan.

Selanjutnya, khudi  atau ego manusia akan cenderung mengarahkan pada dua hal, apabila ego diaplikasian pada aspek sosial politik, maka perlu adanya dinamisme Islam dan apabila khudi masuk dalam tasawuf maka Ia membuka tabir-tabir aktualisasi manusia kepada Tuhan. Namun, di samping itu, untuk mencapai kesempurnaan dan kedekatan dengan ego mutlak (khuda) maka manusia harus berusaha mengendalikan dirinya dari hal-hal yang menghambat keterkaitan dan kekuatan egonya dengan ego mutlak. Adapun upaya-upaya dalam mencapai kesempurnaan khudi seseorang, terdapat tiga fase yakni kekuatan pada hukum Ilahi, penguasaan dan perwakilan ilahi.

Baca Juga :  Mengintip Kehidupan Sehari-hari Profesor Zainuddin Syarif

Di samping itu, terdapat beberapa karakteristik khudi sebagaimana ia mampu menjadi esensi gerak manusia. Pertama, khudi bersifat tesendiri dam unik. Walaupun hidup adalah diri yang berinteraksi dengan diri-diri lain diluar dirinya, namun ia tetap terpusat pada setiap diri seseorang dan menjadi esensi dari kedirian seseorang, sehingga khudi tersebut yang menjadi pembeda manusia dengan organisme lain. Kedua, khudi efektif bersifat dinamis. Sebagaimana dipaparkan sebelumnya, khudi dapat berkembang dan terus dinamis, serta dapat melemah dan menguat.

Apabila seseorang memiliki hasrat keakuan dalam dirinya semakin kuat maka semakin kuat pula khudi-nya serta berlaku sebaliknya. Menguat dan melemahnya khudi  dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, seperti cinta kasih, Faqir, berani atau keberanian, hingga urgensi adanya toleransi. Ketiga, khudi bersifat teleologis, artinya khudi tidak terikat dengan ruang dan waktu, serta ia merupaka potensi yang ada dalam diri manusia sehingga dapat terus dikembangkan dan diupayakan agar bisa mendekat dengan Tuhan.

Epistemologi Islam dalam Filsafat Khudi

            Paparan mengenai filsafat khudi  Muhammad Iqbal mengindikasikan pola epistemology yang dapat dilihat dari kerangka berpikirnya dalam membentuk konsep khudisebagai landasan gerak dan berpikir seorang manusia. Melalui pisau analisis paradigm epistemology Islam Abid al-Jabiri, filsafat khudi  Muhammad Iqbal dapat dipahami sebagai berikut:

Filsafat khudi Muhammad Iqbal cenderung menggunakan epistemologi burhani dan Irfani, adapun bayani sebagai epistemology yang mendasarkan teks sebagai otoritas kebenaran tertinggi tidak digunakan secara gamblang dalam konsepnya. Namun, ia menggunakan spirit al-Qur’an sebagai bentuk legitimasi bahwa ada anjuran perubahan dan kemajuan dalam al-Qur;an. Di sisi lain, Iqbal sangat mengktirik terhadap pemikiran-pemikiran yang jumud dalam memahami al-Qur’an. Bahkan ia menekankan bahwa adanya teks bukan sebagai teks perundangan yang kaku dan stagnan sehingga tidak relevand dalam menjawab problematika umat Islam saat ini.

Lahirnya dinamisme Islam merupakan salah satu bentuk upayanya dalam memantik spirih kebaharuan umat Islam agar terus bergerak karena masing-masing manusia dianugerahi ego atau khudi yang senantiasa merujuk kepada kebenaran dan kemajuan apabila manusia mengembangkannya, serta adanya kehendak ilahiyah atau ketersambungan khudi dengan khuda.

Epistemologi Burhani banyak mewarnai pola pikir Muhammad Iqbal dalam proses lahirnya filsafat Islam. Pergulatan pemikirannya di Barat serta kekagumannya pada kemajuan Barat menjadikan Iqbal pembaharu yang menghendaki Islam mampu bersaing dengan peradaban Barat. Ia memandang bahwa realita keterpurukan umat Islam saat ini karena kejumudan umat Islam dalam segi pengembangan keilmuwan sehingga Barat menguasai sector-sektor penting yang mana Umat Islam justru bergantung dan perlahan terhegemoni.

Baca Juga :  Tiga Pilar Utama Menuju Kemajuan Umat Islam Indonesia

Proposisi-proposisi yang demikian menghasilkan gagasan bahwa umat Islam perlu bangun dan bergerak, mereinterpretasi sumber-sumber agama yang humanis dan terbuka, serta perlunya umat Islam meniru Barat dalam persoalan keilmuwan namun tidak bisa mengambil sisi sekularisme, liberalism dan imperialism yang menjadi ideology Barat. Di samping itu, umat Islam perlu mengambil peran sosial politik sebagaimana ia contohkan sebagai pelopor lahirnya Republik Pakistan sebagai Negara Islam yang memisahkan diri dari India yang notabene memiliki beragam kepercayaan.

Adapun epistemology Irfani merasuki pemikiran Muhammad Iqbal dalam memahami posisi khudi dan khuda, namun Iqbal tidak semerta-merta mengambil konsep irfani sebagai salah satu metode yang digunakan secara utuh dalam menemukan kebenaran atau pengetahuan, melainkan Iqbal menyadari bahwa ada sisi intuisi yang tidak dapat diabaikan sebagai bentuk kehendak ilahi yang terhubung melalui khudi dengan khuda (ego mutlak).

Iqbal memposisikan ego sebagai esensi penggerak yang ada dalam diri manusia, ego tersebut yang menjadi jalan manusia terhubung dengan Tuhan, dan dari kekuatan ego pula yang melahirkan tata laku dan tata nilai yang terefleksi dalam kegiatan dan sikap keseharian, pembiasaan dan lain sebagainya. Namun, perlu digarisbawahi bahwa keterhubungan tidak lantas sebagaima penyatuan dalam konsep-konsep sufi. Melainkan potensi atau fitrah yang selalu cenderung pada kebaikan dan kemajuan.

Sedangkan konsep penyatuan, terutama yang digagas oleh Ibnu ‘Arabi sangat ditentang oleh Muhammad Iqbal karena mengabaikan kedirian manusia, hakikat manusia sebagai anugerah Tuhan yang juga berfungsi sebagai khalifah di bumi. Sehingga aspek duniawi dan ukhrawi harus seimbang, dari sinilah lahir konsep Insan Kamil yang menurut Iqbal merupakan bentuk manusia yang ideal yang mampu mengembangkan potensi kemanusiaannya dan mencapai puncak spiritualitas.

***

*) Oleh : Rofiatul Windariana, Aktifis Perempuan sekaligus Pengurus Komunitas Simposium dan Anggota Forum Lingkar Pena (FLP) Cabang Pamekasan

*) Tulisan Esai ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi teliti.id

*) teliti.id terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan nalar teliti.id Indonesia.

Berita Terkait

Media Kabhar Langghar An-Nawari Sumenep: Wadah Literasi Media Siswa dan Alumni
Tiga Pilar Utama Menuju Kemajuan Umat Islam Indonesia
Mengembalikan Wajah Politik yang Luhur
Kepemimpinan dan Keberlangsungan HMI: Membangun Jati Diri Lewat Organisasi Mahasiswa Islam
Kebahagiaan Menurut Friedrich Nietzschee
Transformasi Gerakan Mahasiswa Sejak Boedi Utomo Hingga Era Digital
Mengintip Kehidupan Sehari-hari Profesor Zainuddin Syarif
Berita ini 79 kali dibaca

Berita Terkait

Rabu, 27 November 2024 - 15:20 WIB

Media Kabhar Langghar An-Nawari Sumenep: Wadah Literasi Media Siswa dan Alumni

Selasa, 12 November 2024 - 18:05 WIB

Tiga Pilar Utama Menuju Kemajuan Umat Islam Indonesia

Senin, 14 Oktober 2024 - 16:42 WIB

Islam dan Filsafat Khudi: Tinjauan Epistemologi Islam dalam Pemikiran Muhammad Iqbal

Kamis, 5 September 2024 - 22:48 WIB

Mengembalikan Wajah Politik yang Luhur

Selasa, 16 Juli 2024 - 01:59 WIB

Kepemimpinan dan Keberlangsungan HMI: Membangun Jati Diri Lewat Organisasi Mahasiswa Islam

Kamis, 11 Juli 2024 - 04:46 WIB

Kebahagiaan Menurut Friedrich Nietzschee

Rabu, 10 Juli 2024 - 19:10 WIB

Transformasi Gerakan Mahasiswa Sejak Boedi Utomo Hingga Era Digital

Minggu, 12 Mei 2024 - 10:39 WIB

Mengintip Kehidupan Sehari-hari Profesor Zainuddin Syarif

Berita Terbaru

Dara Sri Ariesti Rasyid, Pengurus Korps Himpunan Mahasiswa Islam (Kohati) Badan Koordinasi (Badko) Jawa Timur.  (DARA FOR TELITI)

Global

Peran Media Digital dalam Meningkatkan Pertumbuhan Ekonomi

Kamis, 20 Feb 2025 - 03:26 WIB

Aisyiah Aiwani Baletti Kader HMI Cabang Kupang sekaligus mahasiswa pascasarjana Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Malang. (SASA FOR TELITI)

Global

Celah Tembok Besar Antara Individu dan Teknologi

Kamis, 20 Feb 2025 - 02:01 WIB

Mochammad Chafizd Baihaqi, S.Ag, kader HMI dan seorang pebelajar dari Tulungagung. (CHAFIDZ FOR TELITI)

Global

Peran Medsos dalam Menunjang Ketahanan Ekonomi Nasional

Kamis, 20 Feb 2025 - 01:53 WIB