Penulis: Ahmad Deni Rofiqi
BELAKANGAN berhembus kabar Joko Widodo dan Prabowo Subianto sedang mengalami keretakan hubungan. Belum bisa dipastikan apa pemicu keretakan hubungan keduanya. Namun yang pasti, peristiwa ini menarik dibicarakan mengingat presiden yang saat ini menjabat akan turun tahta dan digantikan presiden terpilih sebagai bekas lawan politiknya akan naik di kursi nomor wahid.
Sekilas, kita boleh mengatakan bahwa Joko Widodo dan Prabowo Subianto adalah saudara kandung yang lahir dari “kepentingan” yang sama, yakni memenangkan politik elektoral. Namanya saudara kandung, ia hanya lahir dari rahim yang sama tetapi memiliki kepribadian dan watak yang berbeda. Jadi bila keduanya berpisah, lalu memilih jalannya masing-masing itu hal wajar. Dalam kacamata politik retaknya hubungan keduanya adalah peluang terjadinya perubahan eskalasi politik besar-besaran.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Menjelang akhir dan awal pemerintahan
Masa transisi pemerintahan dari Jokowo-Ma’ruf ke Prabowo-Gibran adalah detik-detik krusial yang dapat menentukan laju politik pemerintahan ke depan. Kemenangan Prabowo-Gibran memang tak lepas dari peran Jokowi, tetapi pengaruh Jokowi sangat memungkinkan untuk dibuang begitu saja ketika di tengah jalan mengalami tabrakan kepentingan.
Tentu bacaan politik saya bisa disebut terlalu radikal-ekstrem dalam membaca hubungan Jokowi-Prabowo dan potensi keretakannya. Namun, kalau dugaan ini benar terjadi maka akhir pemerintahan Jokowi dan awal pemerintahan Prabowo akan terjadi “political opportunity”.
Eisinger, (1973) menyatakan bahwa political opportunity adalah timbulnya gerakan sosial yang ditandai adanya perubahan struktur politik yang menyebabkan kesempatan munculnya protes. Di ruang jeda antara akhir pemerintahan Jokowi dan menjelang masa pelantikan pemerintahan Prabowo muncul demonstrasi “mengawal putusan Mahkamah Konstitusi” Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan Nomor 70/PUU-XXII/2024. Selain itu ramai beredar tagline, poster dan keresahan-keresahan masyarakat untuk mengadili Jokowi bersama kroni-kroni politiknya.
Keadaan yang disebut political opportunity melalui fenomena protes yang makin meluas di berbagai daerah bisa disebut sebagai akumulasi kemarahan masyarakat selama 10 tahun Jokowi yang banyak tidak menunaikan janji politik dan amanah reformasi.
Sehingga kalau Jokowi-Prabowo bisa dibilang awet persaudaraannya, bagi saya, itu sangat mustahil. Pertimbangannya sederhana. Prabowo punya beban sejarah problematik soal pelanggaran HAM berat masa lalu. Dan Jokowi telah bertransformasi sebagai juragan kepentingan elit yang di akhir periode pemerintahannya banyak digugat oleh masyarakat. Kalau Prabowo terpaksa harus mengikuti kehendak Jokowi dalam menjalankan roda pemerintahan, maka Prabowo tidak makin menyelamatkan dirinya sebagai pajabat publik. Alih-alih memperkokoh legitimasi politiknya, ia makin membebani dirinya karena problem birokrasi Jokowi dan beban sejarah masa lalunya. Sebagai dua sosok yang sama-sama problematis, berkompromi jelas bukan pilihan yang tepat.
Kalau ditarik pada political opportunity yang gejalanya sudah nampak di mana-mana, publik, masyarakat sipil, buruh, petani, mahasiswa, harus mengambil langkah strategis untuk membangun ulang legitimasi politik sebagai kedaulatan rakyat sepenuhnya, tanpa boleh dikurangi sedikit pun.
Politik Luhur adalah Mandat Kedaulatan Rakyat
Sepuluh tahun pemerintahan Jokowi-Ma’ruf telah mengubah banyak hal. Dari soal Pembangunan Strategis Nasional (PSN) yang banyak merugikan masyarakat dan lingkungan, pengesahan undang-undang yang merugikan rakyat, lembaga anti-rasuah yang ditundukkan dan diperlemah, penundukan ormas dengan memberikan konsesi tambang secara cuma-cuma, hingga manuver-manuver politiknya yang memasok keluarganya di sektor strategis politik dengan cara-cara manipulatif menggunakan lembaga konstitusi. Artinya, problem elektoral yang diatur Jokowi dan kroni-kroninya harus menjadi pemicu lahirnya politik luhur guna mengembalikan kedaulatan sepenuhnya berada di tangan rakyat.
Pada rentang waktu yang cukup singkat hingga pelantikan pemerintahan Prabowo-Gibran, kelahiran political opportuniy harus disambut dengan tujuan yang sama. Tiga poin ini setidak-tidaknya bisa menjadi gambaran umum, bagaimana “bayangan” masyarakat kita ke depan. Pertama, mendesak pengesahan RUU Perampasan Aset; kedua, menutup celah-celah lahirnya Dwifungsi ABRI; dan ketiga, merevisi UU ITE.
Tiga hal tersebut, sekurang-kurangnya dapat menjadi upaya untuk memulihkan demokrasi Indonesia yang telah tentatif, yang tidak beridentitas republik, dan penuh kepongahan di mana-mana.
Mari bangun keluhuran politik itu melalui kesadaran bersama dengan tidak memelihara sikap-sikap politik yang opportunistik, penuh tipu daya, dan merusak. Bangunlah imajinasi politik alternatif yang meneduhkan, yang hangat dan luhur dengan memanfaatkan political opportunity yang sedang terjadi hari-hari ini.
***
*) Oleh : Ahmad Deni Rofiqi, Koordinator Pendidikan Politik dan Hukum PAR Alternatif Indonesia.
*) Tulisan Essay ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi teliti.id
*) teliti.id terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan nalar teliti.id.