TELITI, PAMEKASAN – Profesor Zainuddin Syarif cukup familiar didengar di kalangan Masyarakat Madura, terutama Warga Pamekasan.
Mantan Direktur Pascasarjana di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Madura ini, meniti karir dengan telaten hingga menempati berbagai posisi di Bumi Gerbang Salam ini.
Gelar profesor, tak jarang membuat kebanyakan masyarakat, berpikir bahwa manusia dengan gelar itu selalu membaca buku atau berinteraksi dengan persoalan akademik. Tentu perspektif itu benar.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Namun terdapat kebiasaan Profesor Zainuddin yang jarang diketahui oleh orang-orang. Terutama aktivitas saat di rumah.
Pakar Politik Islam ini memiliki burung perkutut sebagai hewan peliharaan. Terdapat sekitar tujuh ekor yang saat ini mewarnai bunyi di kediamannya. Bukan soal keistimewaan yang disebut dalam perimbon maupun tafsir Islam.
Akan tetapi upaya relaksasi melalui variasi bunyi yang dikicaukan burung perkutut peliharaannya.
“Saya memelihara perkutut ini bukan soal filosofis. Melainkan senang dengan bunyinya yang mampu merelaksasi diri saya,” terangnya.
Menikmati kicauan burung perkutut, biasa didengar saat pagi, siang dan sore. Sembari menuntaskan persoalan administrasi yang belum kelar, Profesor Zainuddin mengambil posisi nyaman di antara lingkaran gantungan burung berjejer di bagian atap gubuk yang terletak di bagian belakang rumahnya. Gubuk bersegi empat itu biasa dirinya sebut dengan istilah “Kobhung Intelektual”.
“Pagi itu saya merawat. Siang sore mendengar kicauannya,” curhatnya.
Kendati memiliki tujuh peliharaan burung perkutut, pihaknya merasa masih mencari satu ekor lagi dengan ciri khas bunyi yang berbeda.
Saat ini, dirinya menyasar perkutut dengan durasi bunyi yang panjang. “Ini hanya ada beberapa saja yang bunyinya estetik dengan durasi agak panjang,” urainya.
Panjangnya durasi yang dimaksud tidak untuk diikutkan kontes. Bahkan dirinya tidak bisa membedakan, antara burung yang layak atau tidak, untuk diikutkan perlombaan.
Menurutnya, sejumlah peliharaan itu dirinya dapatkan dari teman-teman. Sebagian lain adalah tangkapan liar.
“Ada sebagian ekor perkutut yang biasa diikutkan kontes sebelum diberikan kepada saya. Sebagian lainnya itu, perkutut liar,” jelasnya.
Profesor Zainuddin mengaku, kebiasaan memelihara perkutut itu ternyata sudah dilakukan oleh para leluhurnya. Kegemaran itu terwariskan secara alami kepadanya.
Oleh karena itu, dirinya meneruskan kebiasaan tersebut. Bahkan menjadikannya sebagai bagian dari aktivitas sehari-hari.
“Kebiasaan itu, berawal dari para leluhur saya. Sampai sekarang saya rawat kebiasaan itu,” pungkasnya. (van/dah)