Petak 56 dan Komitmen Pendidikan di Jember
Oleh: Ahmad Deni Rofiqi
SEDANG ramai dibicarakan mengenai Rancangan Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Jember 2025-2045 yang terbukti tidak beres karena ada banyak ditemukan data-fakta lapangan yang bertolak belakang dengan isi RPJPD. Mengingat RPJPD ini memuat bayangan pembangunan masa depan Jember selama 20 tahun ke depan, maka wajib hukumnya publik mengetahui, mengawal dan memastikan bahwa RPJPD mewakili hajat hidup masyarakat umum di Jember.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Karena banyak ditemukan kecacatan data-fakta dalam RPJPD, saya ingin menyampaikan informasi riil mengenai daerah terpencildi Dusun Sepuran, Desa Sumberjati, Kecamatan Silo, Kabupaten Jemberyang disebut “Petak 56”. Daerah ini penting saya bicarakan supaya Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Jember dan DPRD Kabupaten Jember melalui RPJPD bisa serius dan tidak ugal-ugalan dalam proses penyusunan RPJPD.
Petak 56 dan Hal Lainnya
Ada kawasan terpencil di tengah hutan yang berada di Dusun Sepuran, Desa Sumberjati, Kecamatan Silo, Kabupaten Jember, namanya kawasan petak 56, yang dihuni oleh sekitar 80-an orang dewasa.
Saya sudah dua kali ke sana. Saya berhasil memotret kenyataan menyesakkan tentang anak-anak yang duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) yang setiap pagi harus berangkat lebih awal dibanding teman-teman yang lainnya, harus rela tidak ke sekolah ketika tak ada yang mengantar dan ketika cuaca buruk. Belum lagi ketika beberapa tahun lalu pandemi covid-19 meneror setiap sektor kehidupan, kegiatan belajar anak-anak di Petak 56 lumpuh total.
Jarak tempuh menuju ke sekolah relatif jauh. Selain jauh, medannya juga sulit. Jadi butuh waktu dan tenaga ekstra untuk bisa belajar di sekolah dasar yang letaknya di Dusun Sepuran.
Selain itu, informasi yang saya dapatkan, bahwa ketika anak-anak itu telah lulus SD, mereka tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Selain karena faktor biaya, akses pendidikan, mereka juga tidak memiliki imajinasi yang kuat tentang pendidikan layak karena tidak memiliki alternatif bacaan selain buku-buku pelajaran. Ya, imajinasi mereka terpenjara karena tidak tersedia literatur yang memadai.
Karena posisi Petak 56 berada di tengah hutan, maka bisa dibayangkan bagaimana kesulitan mereka dalam berbagai hal. Artinya, Petak 56 serba terbatas dalam hal apapun; khususnya dalam hal pendidikan, kesehatan, dan teknologi.
Saya tidak mau terlalu mendramatisir kenyataan yang terjadi di Petak 56. Tetapi setidak-tidaknya, Petak 56 harus menjadi ukuran mikro bagaimana wujud pembangunan yang tertuang dalam RPJPD selama 20 tahun ke depan dapat memenuhi hajat hidup masyarakat, tanpa terkecuali.
Identitas Jember: Kota Santri dan Pendidikan
Kenyataan identitas Jember sebagai kota santri dan pendidikan amat lekat dalam memori publik. Dan karena itulah, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Jember punya beban konstitusional, moral dan etis untuk menunjukkan bahwa Jember memang layak menyandang gelar tersebut.
Tetapi sayang seribu kali sayang, saya tidak menemukan pembahasan serius yang terperinci mengenai aspek masa depan pendidikan (baca: sekolah dan pondok pesantren) dalam RPJPD Jember 2025-2045.
Sangat memalukan dan harus diakui bahwa isi di dalam “arah kebijakan” dari tahapan I-IV yang membahas mengenai pendidikan, penjelasannya repetitif. Terkesan “copy-paste” dan nirgagasan. Yang berubah hanya diksi awalnya saja serta tambahan kalimat pada arah kebijakan tahap IV.
Pada arah kebijakan tahap I tertulis “perluasan akses ke layanan pendidikan…”; pada arah kebijakan tahap II tertulis “memastikan akses ke layanan pendidikan…”; pada arah kebijakan tahap III tertulis “optimalisasi akses ke layanan pendidikan…”; pada arah kebijakan tahap IV tertulis “memastikan akses ke layanan pendidikan… adaptif terhadap segala bentuk tuntutan perubahan zaman”. Selain itu, tidak ditemukan pembahasan sama sekali mengenai “pondok pesantren”. Cukup miris dan memalukan.
Miriam Budiardjo mendefinisikan beleid atau kebijakan publik sebagai “suatu kumpulan keputusan yang diambil oleh seorang pelaku atau kelompok politik, dalam usaha memilih tujuan dan cara untuk mencapai tujuan itu.” Isi kebijakan publik tersebut juga memuat dasar-dasar keilmiahan yang berangkat dari fakta-fakta empiris. Sedangkan dalam kasus RPJPD Jember yang mengandung kebijakan publik isinya jauh dari kenyataan science.
Berangkat dari problem ini saya bukan hanya ragu mengatakan bahwa penyusunan RPJPD Jember 2025-2045 tidak serius. Lebih dari itu, penyusunannya juga asal-asalan. Lalu pembangunan macam apa yang ingin ditawarkan RPJPD?
Jember di Masa Depan
Pendidikan adalah pondasi paling dasar yang bisa menjamin bahwa di balik cita-cita pembangunan, yang dibangun bukan hanya gedung dengan standar pemerintah, tetapi aspek sumber daya manusianya.
Tetapi bila kebutuhan dasar ini tidak terpenuhi, maka pembangunan sebagaimana dimaksud hanya ilusi belaka. Keberadaan Petak 56 harus menjadi titik mawas dalam menyusun RPJPD, sebab ada banyak Petak 56 lainnya di Jember. Kalau sampai RPJPD ini tidak dievaluasi, tidak dirubah, dan dibiarkan begitu saja, maka Jember sudah sejengkal menuju “hancur lebur”. Mengenaskan!
***
*) Oleh : Ahmad Deni Rofiqi, Koordinator Pendidikan Politik dan Hukum PAR Alternatif Indonesia.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi teliti.id
*) teliti.id terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan nalar teliti.id.