Bondowoso – Pemilihan kepala daerah (Pilkada) merupakan kontestasi lima tahunan yang digelar untuk tindak lanjut kepemimpinan. Namun sayang, pesta demokrasi di tingkat daerah itu tak jarang dibumbui dengan kekuatan kekuasaan. Bahkan kekuatan uang.
Kondisi itu terkesan miris. Sebab dalam pertarungannya tidak termaktub perang gagasan untuk pembangunan daerah ke depan. Tak terkecuali kondisi kontestasi politik di Kabupaten Bondowoso.
Situasi ini seakan tak bisa dibendung. Dimana yang berkuasa dan beruang akan menjadi pemenang. Meski tak memiliki gagasan. Artinya, soal kualitas demokrasi, justru pemilihan presiden Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) jauh lebih substantif dibandingkan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Mahasiswa sebagai masyarakat akademik, memiliki peran sentral mengawal demokrasi. Minimal beradaptasi mengawal pembangunan di tingkat daerah.
Mahasiswa adalah tokoh intelektual yang diberkahi ilmu pengetahuan yang cukup. Ciri berpikir mahasiswa berbeda dengan tokoh-tokoh pada umumnya.
Cara berpikir yang logis dan ilmiah merupakan ciri khas mahasiswa dalam merespon gejala sosisal dan politik. Dilain sisi, mahasiswa juga memiliki kemerdekaan berpikir. Bahkan kemerdekaannya tumbuh sejak dihati, sehingga jauh lebih bijak melihat masalah serta upaya penyelesaiannya.
Hal itu dikarenakan kemurnian hati dalam melahirkan ide dan gagasan. Mahasiswa memiliki peran sebagai penjaga nilai-nilai harapan masyarakat yang kebenarannya mutlak. Yakni menjunjung tinggi kejujuran, keadilan, itegritas, empati dan sifat yang dibutuhkan dalam kehidupan masyarakat.
Ali Syari’ati, mengemukakan bahwa seorang intelektual wajib hukumnya peduli pada situasi yang terjadi disekitar. Artinya, selain mahasiswa berkewajiban belajar di kampus, mereka juga dituntut aktif di luar kampus. Tak terkecuali situasi politik di sekitarnya.
Situasi menjelang pilkada perlu menjadi kajian teman-teman mahasiswa. Karena pilkada bukan hanya sekedar tentang siapa calonnya. Tetapi, yang harus diperhatikan bersama ialah ide dan gagasannya untuk Bondowoso tercinta.
Jika prinsip itu menjadi pegangan bersama maka pilkada Bondowoso akan lebih berkualitas dan tingkat partisipasi publik semakin meningkat.
Partisipasi mahasiswa menjadi penting sekali sebagai jembatan masyarakat pada pilkada tahun 2024. Masayarakat mendapat kemudahan akses dalam menilai isi kepala calon pemimpinnya secara objektif.
Dilain sisi, Mahasiswa juga harus terlibat dalam mendorong peningkatan kesadaran politik melalui pendidikan politik.
Menurut Tjetje H padmadinata, pada era ini pendidikan menjadi sangat urgen karena political branding kekinian pada perspektif cenderung buruk.
Hal itu karena selain pengalaman pragmatis yang dihadapi masyarakat pada implementasi politik praktis, karena tidak munculnya para pemimpin yang memberikan contoh yang baik.
Bondowoso tengah mengalami krisis pemahaman yang cenderung memaknai politik sebagai perebutan kekuasaan, pengutamaan kepentingan kelompok, ketimbang kepentingan dan kebaikan bersama.
Kue kekuasaan selalu menjadi santapan kelompok pemenang, bagi-bagi kekuasaan diantara koalisi atau kroni pemenang politik. Hal itulah pesan politik yang diterima masyarakat, sehingga wajar politic branding dimata masyarakat Bondowoso menjadi buruk.
Hal itulah diantaranya yang mengharuskan pendidikan politik terus dilakukan untuk mengembalikan tujuan politik semula sebagai cara hidup bersama.
Ajaran pendidikan politik tidak dapat dipandang sebagai formalitas yang hanya masuk pada wilayah idealisme atau teori politik di kampus yang cenderung melangit tetapi harus dikebumikan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga pengajaran politik dapat merangkul semua elemen masyarakat dalam bungkus yang adaptif, baik bantuk maupun isinya.
Namun memberikan pendidikan politik tidak semudah membalikkan telapak tangan terlebih bagi sebagian masyarakat, politik adalah keyakinan, politik adalah pilihan hidup, sehingga sangat sulit untuk meluluhkan mereka pada jalan yang benar.
Kendati begitu, harapan masih terbuka. Karena ada sebagian masyarakat yang masuk kategori pemilih pemula. Merekalah pemilih potensial, secara kualitatif mereka memiliki semangat yang tinggi karena baru pertama memilih yang sangat memungkinkan didorong oleh keikutsertaan yang tinggi dan cenderung bersih dari politic branding yang buruk.
Dari uraian diatas, Harapannya pada momentum pilkada 2024, para pemilik kepentingan tidak hanya sibuk bongkar-pasang pasangan calon dan koalisi. Tetapi mulailah menarasikan ide dan gagasannya sehingga masyarakat tau bahwa isi kepala calon pemimpinnya adalah pikiran. Disebut pikiran jika itu dipertentangkan di kampus-kampus. Oleh karenanya, calon pemimpin bondowoso selanjutnya harus menjadikan kampus sebagai tempat untuk menguji ide dan gagasannya.
Sebagai mahasiswa, kami juga menghimbau pada Calon Pemimpin Bondowoso untuk berpolitik yang berkeadaban. Supaya politik branding yang buruk tidak lagi menjadi wabah bagi masayarakat Bondowoso.
***
*) Oleh : Moh Ikrom Suharyadi (Pemuda Bondowoso dan Mahasiswa Magister Management Pendidikan Islam STAI At-Taqwa Bondowoso)
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi teliti.id
*) teluti.id terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan nalar teluti.id Indonesia.