Indonesia merupakan negara bagian timur di dunia yang digadang-gadang sebagai pusat paru-paru dunia. Hal tersebut didasarkan pada melimpahnya sumber daya alam yang ada di Indonesia. Baik dalam persebaran dan kekayaan laut, rimbunya hutan hingga daerah-daerah terpencilnya yang masih terjaga keasriannya.
Berbicara alam sudah berarti berbicara spektrum environmental. Environmentalisme sendiri merupakan gerakan sosial yang menginisiasi adanya perlindungan terhadap lingkungan dari dampak-dampak buruk yang disebabkan oleh manusia.
Berangkat dari hal tersebut, untuk mewujudkan spektrum enviromentalism dibutuhkan kemampuan dari manusia sendiri sebagai pelaku dari inisiasi perlindungan alam dan lingkungan.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Mengacu pada hal tersebut, kita sering kali melihat adanya kesenjangan paradigma dan praktikum penjagaan lingkungan oleh manusia itu sendiri. Banyak sekali logical false yang hadir ditengah masyarakat akibat kurangnya pemahaman dan rasa kepemilikan.
Hal tersebut ditandai dengan tercemarnya sungai-sungai dan pantai di Indonesia karena limbah, penggundulan hutan, masalah pengeboman laut bahkan yang sedang hype dibahas yaitu mengenai seruan Presiden Prabowo di Februari 2025 mengenai alih manfaat hutan sebagai lumbung perekonomian bangsa dengan cara penanaman sawit.
Padahal jika mau ditelaah lebih lanjut, tanaman kepala sawit merupakan tanaman yang tidak cukup baik dalam menyerap zat hara dalam bumi. Sehingga tanaman sawit dapat diartikan sebagai tanaman yang tidak ramah tanah dan mampu merusak tanah apabila masih digunakan sebagai produksi dalam kurun waktu 10 tahun.
Selain itu, tanaman sawit juga dilebeli sebagai tanaman yang membahayakan foristation dikarenakan hutan tidak bisa digantikan fungsinya sebagai lahan ekonomikal karena akan menimbulkan emisi global.
Mirisnya, pemahaman-pemahaman tersebut tidak diperhitungkan dalam segi keilmuan yang memumpuni. Masyarakat Indonesia tidak diperdaya dengan pendidikan yang sejalan dengan hal hal yang bersifat environmentalisme.
Sebagai solusi yang dapat dihaturkan untuk menjawab segala bentuk misparadigma hingga kegagalan kita dalam menjaga ekosistem dunia adalah manusia itu sendiri melalui pendidikan. Pendidikan yang dimaksud disini bukan hanya sekedar teoritis dan pemahaman yang dangkal terkait suatu hal khususnya mengenai enviromentalis.
Hal tersebut haruslah bermuara pada penanaman mindset yang berkesinambungan serta keterikatan rasa manusia dan alam sebagai makhluk yang saling memiliki.
Manusia sebagai penerima manfaat alam harus merawat alam sebagaimana alam memfasilitasi kehidupan manusia. Dan dalam hal ini, segala stakeholder perlu saling bahu membahu mengedukasi masyarakat dalam rana edukasi dan transformasi kultur serta berani membangun suatu hal yang tidak hanya bertumpu pada ekonomical saja.
Manusia perlu mempelopori diri sebagai individu yang memajukan perekonomian dengan pemeliharaan alam dan bukan sebaliknya.
***
*) Oleh: Aisyiah Aiwani Baletti Kader HMI Cabang Kupang sekaligus mahasiswa pascasarjana Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Malang
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi teliti.id
*) teliti.id terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan nalar teliti.id.